Protes Matahari
Oleh
: Fathur Rahman
|
Sumber : www.bintang.com |
Penyebab dan akibat kebakaran hutan
Negeri
nan elok dulu indah di pandang mata. Alamnya membentang nun di tengah-tengah
pulau Sumatra. Negeri nan elok itu banyak menyumbang devisa Negara. Hasil alamnya
melimpah ruah, mulai dari minyak bumi sampai suburnya hutan tropika dan kelapa.
Kini negeri nan elok itu sedang merana. Menyesali perbuatan yang sirna. Kalau
sudah begini ingin menyalahkan siapa?.
*******
Cahaya
dibalik kegelapan itu datang lagi. Menyapa dengan senyum tipis namun tak
seperti orang ramah yang baru kenal. Mencoba menyusup namun sama sekali tak mirip tentara di medan perang.
Melainkan lebih mirip seekor anjing pemburu yang letih, lidahnya menjulur,
nafasnya terengah-engah dalam menerebos hutan rimba. Cahaya itu sepertinya
merasa bosan menyinari alam ini dengan perlakuan yang ia dapatkan.
“Anggi
ayo bangun! Sudah adzan subuh, ayo sholat dek!” Teriak Kakak dari ambang pintu
kamar.
“Hhuaaahh,
iya kak sebentar lagi.” Jawabku meminta tambahan waktu.
Kakakku,
yang menjunjung tinggi nilai kedisiplinan itu berkata lagi. “Ayolah, itu Mas mu
sudah menunggu untuk sholat berjamaah.”
Aku
yang tadinya tidak menyadari kalau Kakak sudah di dekatku, akhirnya menurut. “Iyaa
kak, iya”. Lalu Aku mencoba bangun.
Tiba-tiba
terdengar suara batuk-batuk dari kamar Rafif. Dalam benakku, ngapain sih subuh-subuh begini anak ini
batuk. Setelah sempat menggerutu, Aku bergegas berwudhu lalu sholat
berjamaah.
Setelah
sholat subuh, sesuai rencana, Aku lari pagi di sekitar gang rumah sebelum
berangkat ke sekolah. Kebiasaan ini sudah ku lakukan kelas 2 SMP.
*******
Menanti
sang fajar memang hal yang membahagiakan bagi penikmat lari pagi sepertiku.
Mulai dari menikmati udara yang bersih, semilir angin nan sejuk, sampai cahaya mentari
yang baik bagi kesehatan. Tapi yang paling mengesankan bagiku adalah saat-saat
menikmati indahnya kemerahan cahaya sang fajar yang mengintip dari ufuk timur
dengan tebaran senyumnya. Namun entah mengapa, pagi ini terasa amat berbeda.
Peristiwa ini seperti yang pernah terjadi sekitar setahun yang lalu.
“Aduh,
kabut lagi kabut lagi. Sampai kapan sih harus begini, seperti ujian semester
aja yang sudah terjadwal heh.” Guman ku.
Sambil
berlari kecil, Aku menghampiri Kak Iyun yang sedang menyapu teras depan rumah. Saat
ini Aku tinggal bersama Kak Iyun kakak sepupuku, untuk melanjutkan sekolah SMA.
“Kak,
kabut asap lagi, kak?”
“Iya
Nggi, kalau musim kemarau ya sudah biasa seperti ini. Itu saja Rafif sudah
batuk-batuk. Sudah. sarapan dulu sana! Mandi! Terus berangkat sekolah!”
“Iya
kak.” Jawabku.
*******
Kabut
asap memang menjadi langganan daerah ini, datangnya bagaikan sudah terjadwal di
kalender-kalender. Aku tahu karena keserakahan manusialah hal ini terjadi. Keserakahan
tanpa didasari dengan hati nurani. Keserakahan untuk memperkaya diri sendiri, bagaikan
seekor babi yang memakan kotorannya kembali.
Pernah
suatu ketika aku bertanya-tanya apa sebenarnya motif pembakaran hutan ini? Apa
keuntungannya? Namun teka-teki itu baru terjawab setelah sekian lama terbenam
dalam benakku. Jawaban itu ku temukan secara tak sengaja ketika aku pulang ke
kampung untuk liburan akhir semester.
Di
dalam perjalanan pulang di tengah-tengah kabut asap Aku melihat gumpalan asap
tebal mengiringi perjalananku dari arah barat. Tak lama kemudian Aku singgah di
sebuah warung kecil di tepi jalan untuk mengisi bensin motorku. Karena SPBU
sangat jauh dari tempat ini, maka pedagang eceran bensin banyak bertabur. Secara
bersamaan seorang pria juga mengisi bensin bersama anak laki-laki yang masih
remaja mengendarai motor dengan pakaian yang kotor, sepertinya oleh arang pembakaran.
“Dari
mana pak?” sapaku sambil melirik sepatu ladangnya yang kotor.
“Dari
ladang, dek.” Jawab pria itu.
“Bapak
berladang dimana?”
“Tidak
jauh dari sini, dek.” Jawabnya lagi
sambil menunjuk ke arah timur. Di sana terlihat masih banyak hutan yang di
kepuli asap tipis yang sepertinya habis terbakar.
“Bapak
yang punya lahan terbakar itu?” Tanya ku lagi.
“Iya,
tadi saya coba bakar untuk membersihkannya, tapi apinya malah makin membesar. Makanya
saya coba untuk memadamkannya, kalau kena lahan tetangga kan repot.”
“Kenapa
mesti di bakar pak...?”
“Biar
cepat aja membersihkan lahannya, lagian ini sudah masuk musim berladang, Cuma
kemarau tahun ini panjang.”
“Ooo”
jawabku, “oh iyalah pak, semangat aja.....”
Sejak
saat itu perbincangan kami berhenti. Dalam benakku Aku berpikir, oo pantas saja kabut asap setiap tahunnya
selalu ada, karena motif inilah yang menjadi penyebabnya. Bayangkan saja
perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di bidang perkebunan yang membakar
hutan dengan cara yang singkat di musim kemarau. Berapa banyak luasan hutan
yang habis terbakar?
*******
Besarnya
potensi bumi melayu itu sebagai lahan yang cocok untuk di tanami sawit membuat
banyak perusahaan mulai mengembangkan sayapnya di tanah itu. Perusahaan
itu datang bagaikan singa kelaparan yang
memakan habis hasil buruannya lalu membiarkan tulang belulang buruannya itu
tercecer di jalan yang sempit diantara celah pohon yang berduri sehingga
membuat petani kecil kesulitan untuk melewatinya.
Tanpa
adanya rasa tanggung jawab, perusahaan-perusahaan itu dengan kecam membakar
hutan itu lalu menyisakan penderitaan bagi masyarakat setempat. Bahkan ironinya
akibat ulah mereka hubungan negara kita dengan negara tetangga jadi terganggu. Cuaca
di musim kemarau menyebabkan proses El nino dan membuat siklus angin membawa
produksi asap dari daerah ini ke negara tetangga sehingga terjadi pencemaran
udara.
*******
“Hai Gung apa kabar?” Sapaku saat bertemu
Agung di gerbang sekolah. “Sudah lama tidak ketemu semenjak liburan.”
“Haha,
kamu kangen sama aku, ya?”
“Iihh
siapa juga yang kangen. Ayo ke kantin serapan dulu”
“Ayo-ayo”
“Eh,
kira-kira Buk Afrida masuk ngak hari ini ya?” tanya Agung membuka percakapan
setelah sejak dari pintu gerbang kami saling diam.
“Memangnya
kenapa Gung?”
“Malas
ih, sekolah. Kabut asap begini, enaknya libur.”
“Eeehhh,
percuma aja kamu libur, memangnya kamu mau kemana? Kita ini sudah di kepung
kabut asap. Dimana-mana kan kabut asap. Mendingan kita belajar bareng, sebentar
lagi kan Ujian Nasional.”
“Ya
di rumah lah, main game kan seru. Ngecas semangat dulu, hehe”
*******
Banyak
kerugian akibat kabut asap ini. Sulitnya mencari udara bersih, proses
pendidikan terganggu. Banyak warga yang berobat ke rumah sakit karena mengidap
ISPA. Paling menyedihkannya lagi kabut asap ini memberikan kejutan di tengah
kami melaksanakan Try out untuk persiapan Ujian Nasional.
“Eh
Nggi,” sapa Fiqron di hari pertama Try Out. “Gimana persiapan Try Outnya? udah
belajar belum?”
“Belum
fiq” jawab ku. “Baru sedikit persipannya. Tadi malam Aku menemani Rafif di
rumah sakit. Dia demam, batuk-batuk. Kamu gimana persipannya?”
“Sama,
Nggi. Belum banyak juga persiapannya. Eeehh, kamu tau ngak tadi malam Agung
kalah main PS sama aku. Hahaha akhirnya aku bisa mengalahkannya sesuai janjiku.”
“Walah,
kok kalian main gak ngajak?”
“Kan
kamu menemani adik kakakmu katanya di rumah sakit. Ya udah deh nanti pulang Try
Out kita main lagi ok. Ayo-ayo masuk ke kelas ibuknya sudah datang.
Aku,
Agung, Fiqron memang teman akrab dari kelas 1 SMA, selalu main bersama, belajar bersama. Rasanya
di akhir masa sekolah ini, Aku semakin tidak merelakan perpisahan ini terjadi.
“Anak-anak
pagi ini kita akan melaksanakan Try Out untuk persiapan Ujian Nasional kalian.
Ibuk harap kalian serius mengerjakannya, anggap ini Ujian Nasional benaran.” Kata
Buk Afrida sambil membagikan soal.
Aku
melihat teman-temanku rata-rata memakai masker. Tebalnya kabut asap membuat
mata perih. Asap yang terhirup rasanya tidak sedap dan berbau. Pakaian juga
berbau. Dalam benakku aku berfikir ya mana bisa fokus mengerjakannya, ditambah
lagi pencahayaan lampu di ruang kelas tidak ada. Nafas semakin sesak mata pun
semakin perih.
Secara
tiba-tiba, terdengar teriakan Buk Afrida dari ambang pintu, “anak-anak kita
cukupkan saja ujiannya sampai di sini, sekarang kalian pulang, jangan
berkaktivitas di luar rumah dan jaga kesehatan kalian. Ibuk dapat pesan dari
kepala sekolah kita diliburkan sementara selama 3 hari kedepan.”
******
Asiik liburrrr,
terdengar suara bisikan teman-teman sekelas, ayo pulang yuk!
Kebahagian
mendengar berita libur itu rupanya sangat di nanti-nantikan oleh teman-teman
sejak awal kabut asap ini. Maklum masih dalam masa pancaroba.
Dalam perjalanan
pulang menuju ke gerbang sekolah, tiba-tiba terdengar terikan memanggil namaku.
“Anggi, Anggi. Tunggu..!!”
Rupanya itu suara Agung dan Fiqron sambil berlari
mengejarku dari belakang.
“Eh Nggi, pulang
bareng yuk!” Ajak Fiqron.
“Eh kalian,ayuk-ayuk
mari” jawabku.
Di dalam
perjalanan sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan yang lewat Agung memulai
percakapan.
“Kalian memangnya
gak terganggu dengan kabut asap ini yang datang setiap tahun? Banyak lo yang di
rugikan akibat kabut asap ini, kita sering di liburkan sekolah, mata kita perih
jika melihat, nafas sesak akibat menghirup udara yang kotor, banyak teman-teman
kita yang sakit, sementara ini mau Ujian Nasional lagi.”
“Jujur Gung aku
sangat merasa tersiksa, karena perbuatan orang lain kita yang menanggung akibat
ini.” Jawabku mengungkapkan kekecewaan.
“Ia
Gung, aku juga merasa tergangu. Padahal pemerintah kita dan berbagai LSM sudah memasang
spanduk larangan membakar hutan di pinggir jalan, bahkan beberapa waktu yang
lalu aku melihat ada sosialisasi tentang larangan membakar hutan kepada
masyarakat di Balai Desa, tetapi tetap aja kebakaran hutan sering terjadi”.
Jawab Fiqron.
“Terus gimana dong
solusinya??” tanyaku kepada Agung dan Fiqron secara spontan.
“kalian
tau kan kalau hutan di daerah kita ini tumbuh di lahan gambut? kalau musim
kemarau seperti ini, lahan gambut hutan kita itu kering. Kalau terbakar susah
memadamkan apinya. Apinya itu menjalar dari bawah tanah gambut itu, kan tanah
gambut itu terbentuk dari serasahan dedaunan yang gugur, jadi secara tiba-tiba sudah
banyak lahan yang terbakar. Ini nih ya, dari internet dan koran-koran yang aku
baca katanya sih suruh buat sekat kanal di hutan yang rawan terbakar, sehingga
keberadaan air bisa terjaga keberadaannya.” Jawab Agung dengan mantap.
“waahh!!!”
sahut Fiqron
“oh
iya, aku dengar-dengar katanya lahan gambut itu di lindungi dalam undang-undang
oleh pemerintah. Menurutku sih mau ngak mau pemerintah harus memberikan sanksi
yang tegas bagi pelaku pembakaran hutan tanpa pandang bulu, dan memperketat
izin pembukaan hutan, apalagi memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan yang
tidak bertanggung jawab.” Jawab Fiqron sambil menatap ke arah ku.
“mungkin
peranan masyarakat juga di butuhkan dalam hal ini, misalnya ketika melihat
kebakaran hutan langsung melapor kepada pihak yang berwajib.” jawab Agung tegas
sambil mengacungkan jari telunjuknya.
“tambahan
aja ni, mungkin juga diperlukan kesadaran pada diri sendiri akan pentingnya
menjaga lingkungan. Kalau semuanya sudah sadar, pasti hal seperti ini tidak
akan terjadi.” Jawab Fiqron.
“oh
ternyata,,pemikiran kalian bagus-bagus ya, walaupun sering bermain game tapi
juga peduli tentang lingkungan di luar. Coba aja orang-orang di luar sana lebih
peduli terhadap lingkungan dan tidak merusaknya, hahaha.” jawabku.
*******
Cahaya
itu kian hari kian memerah, mengungkapkan ketidaksukaannya atas ketidaknyamanan
yang ia dapatkan. Partikel-partikel zat kimia bekas limbah industri berhamburan
kegirangan terbang di udara akibat wilayahnya terbakar dan melaju kencang masuk
ke dalam paru-paru anak-anak kecil di tengah sepoi-sepoi angin siang.
Pohon-pohon
padi terlihat layu. Suasana pagi berasa sore, suasana siang berasa berada dalam
rumah kaca, suasana malam berasa buta tak dapat melihat suasana pagi.
Seandainya
mereka sadar bahwa keberadaan hutan sangat mempengaruhi kehidupan lainnya. Kesinambungan
untuk menjaga keseimbangan siklus kehidupan. Bahkan pada zaman dahulu penasehat
Raja Inggris pernah mengungkapkan kata “No
wood, no Kingdom” tidak ada hutan maka tidak akan ada Inggris.
Pepatah
lainnya juga mengatakan “forest is the
sinew of civilation” hutan sebagai otot peradaban manusia, dalam naskah
kesepahaman Kanada pun dalam “Canada
Forest Accord” kalimat pertamanya menyebutkan “The forest symbolizes Canada”.
Meskipun
ada anekdot mengatakan “forest is the
mother of agriculture” namun pengelolaan hutan harus tetap secara lestari.
===BOGOR, 6 APRIL 2016===