Jumat, 13 Mei 2016

Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia

Potensi Artikel Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia




Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hutan terluas di dunia. Data statistik tahun 1993 mencatat luas hutan Indonesia sekitar 141,8 juta hektar. Data lainnya menyebutkan luas hutan Indonesia menempati urutan ke – 9 terluas di dunia setelah Australia dan Argentina dengan luasan 884.950 Km2. Keanekaragaman hayati yang di kandung oleh hutan Indonesia sangatlah melimpah. Dari hasil survei IBSAP ( Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) pada tahun 2003 diketahui bahwa di Indonesia terdapat 515 jenis mamalia (36% endemik, peringkat pertama dunia), 35 jenis primate (25% endemik), 511 jenis reptil, 1.531 jenis burung (sebagian jenis endemik), 270 jenis amfibi, dan 212 jenis kupu-kupu (44% endemik). Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia diperkirakan berjumlah 25.000 jenis atau lebih dari 10% dari flora dunia. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, hutan Indonesia juga memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, mulai dari potensi hutan yang bersifat kayu, maupun potensi hutan bukan kayu. Pada tahun 1997, sektor kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan ekspor kayu lapis, pulp dan kertas nilainya mencapai 5,5 miliar dolar untuk devisa negara. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari nilai ekspor minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor total. Melihat potensi hasil hutan bukan kayu, potensi ini sangat menjanjikan untuk dikembangkan mengingat keanekaragaman jenis tanaman hutan Indonesia yang sangat banyak manfaatnya, baik manfaat langsung (tangible) maupun manfaat tidak langsung (intangible).
Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), hasil hutan bukan kayu adalah hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh dari hutan. Defenisi lainnya menyebutkan segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain.  Di Indonesia sampai saat ini budidaya tanaman HHBK belum banyak dilaksanakan, sebagian besar produk HHBK masih diambil dari dalam hutan sehingga produksi HHBK yang berkesinambungan tidak lagi terjamin. Akibatnya sumberdaya HHBK menjadi hancur bahkan beberapa jenis masuk kategori langka, seperti gaharu, damar rasak, jelutung, kapur barus, jermang, ketiau, balau dan lain-lain sudah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES (Sumadiwangsa dan Mas’ud, 1999).
Sesuai dengan dengan Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009. jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu HHBK Nabati dan HHBK Hewani. HHBK Nabati meliputi kelompok resin (damar, gaharu, kemenyan, getah tusam), kelompok minyak atsiri (cendana, kulit manis, kayu putih, kenanga), kelompok minyak lemak, pati, dan buah – buahan (buah merah, rebung bambu, durian, kemiri, pala, vanili), kelompok tannin, bahan pewarna, dan getah (kayu kuning, jelutung, perca, pinang, gambir), kelompok tumbuhan obat – obatan dan tanaman hias (akar wangi, brotowali, anggrek hutan), kelompok palma dan bambu (rotan manau, rotan tahiti), kelompok alkaloid (kina), dan kelompok (nipah, pandan, purun). HHBK Hewani meliputi kelompok kelas hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya), kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu – kupu, rusa, buaya), kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat
sutera, lebah madu).

Hasil hutan bukan kayu sangat berpotensi sebagai komoditas kehutanan. Hasil hutan bukan kayu dapat menyelamatkan eksploitasi terhadap sektor kehutanan ketika potensi hasil hutan bukan kayu dapat dimanfaatkan dengan baik. Hasil hutan non kayu ini bisa dibilang sangat menguntungkan, karena dari satu jenis saja kita bisa memanfaatkan bagian bagian dari suatu jenis tumbuhan tersebut. Apakah daunya, akarnya, maupun buahnya. Penggunaannya juga bermacam-macam, mulai dari pemenuhan kebutuhan, sebagai barang-barang penghias bahkan sebagai obat-obatan. Berikut adalah beberapa contoh hasil hutan non kayu beserta potensi yang dimilikinya.

1.      Potensi rotan
Luas kawasan hutan yang merupakan habitat alam rotan seluas 2.215.625 ha.  Di Indonesia terdapat kurang lebih 306 spesies rotan telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di Indonesia. Dari keseluruhan yang teridentifikasi, rotan yang sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang lebih 128 jenis. Sementara itu rotan yang sudah umum diusahakan/ diperdagangkan dengan harga tinggi untuk berbagai keperluan baru mencapai 28 jenis saja (Baharuddin dan Taskirawati, 2009). Rotan dapat digunakan untuk membuat keranjang, tikar, mebel, tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, penangkap ikan, perangkap binatang, tirai, kurungan burung, ikatan pada rumah, pagar, jembatan, perahu dan untuk hampir semua tujuan lain apapun yang menuntut kekuatan dan kelenturan yang digabungkan dengan keringanan.

2.      Sagu
Hutan sagu di Provinsi Papua luas sekitar 4.769.548 ha (diperkirakan telah dimanfaatan hutan sagu secara tradisional 14.000 ha). Menurut Prof. Bintoro, untuk menghasilkan 30 juta ton beras per tahun diperlukan lahan seluas 12 juta hektare, sedangkan untuk menghasilkan 30 juta ton sagu hanya diperlukan lahan seluas satu juta hektar. Sebagaimana kita ketahui bahwa sagu dapat menggantikan peran beras untuk kebutuhan pokok manusia.

3.      Nipah
Indonesai memiliki daerah tanaman nipah seluas 10% atau 700.000 ha dari luas daerah pasang surut sebesar 7 juta ha. Penyebarannya meliputi wilayah kepulauan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua. Populasi tanaman nipah diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha, sehingga dari luas areal tanam yang ada sekarang terdapat 5,6 miliar pohon. Dari jumlah tanaman yang ada per hektar, jumlah malai (tangai bunga) yang dapat dihasilkan sekitar 10% atau sekitar 800 tangkai bunga. Jika pemeliharaan dan perawatannya intensif, persentase jumlah malai meningkat sekitar 40% atau sebanyak 3.200 tangkai bunga. Tanaman nipah menghasilkan nira yang diperoleh dari hasil sadapan tangkai bunga (malai). Komposisi nira nipah menagndung kadar gula (Brix) 15-17%, sukrosa 13-15%, gule pereduksi 0,2-0,5%, dan abu 0,3-0,7%.  Nira tersebut dapat diolah emnajdi gula, baik  dinuat sebagai gual merah, gual semut, gula pasir, maupun sirup. Di Malaysia dan Filipina nira nipah selain diolah  menjadi gula juga diolah menjadi vinegar, cuka dan alkohol.

4.    Biji Kepuh (Sterculia foetida)
Tumbuhan Kepuh (Sterculia foetida) memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan biodiesel karena inti bijinya memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi, yaitu sebesar 40% (Heyne, 1987). Selain kandungan minyaknya yang cukup tinggi, minyak biji Kepuh juga tidak digunakan sebagai bahan konsumsi  seperti halnya minyak kedelai, minyak sawit dan minyak bunga matahari. Tanaman Kepuh juga mampu tumbuh dengan mudah  di lahan kritis dan termasuk tumbuhan yang dapat tumbuh dengan cepat serta tersebar di seluruh Nusantara (Heyne, 1987).

5.    Biji Kesambi (Schleichera oleosa Lour)
Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai biodiesel adalah dari biji kesambi (Schleichera oleosa Lour). Minyak biji kesambi mengandung beberapa jenis asam lemak dengan komposisi tertentu yang mirip dengan tanaman penghasil biodiesel lainnya. Asam lemak yang terdapat pada minyak kesambi yaitu asam miristat, asam palmitat, asam stearat, asam arakidat, asam oleat, dan asam linoleat.







   

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cna certification
Downloaded from Free Templates