Ikhtisar
Kondisi yang serba tidak cukup seperti
tidak mempunyai modal, tidak memiliki pendidikan yang tinggi dan terbatasnya
lahan pertanian mendorong para migran sirkuler untuk melakukan usaha mandiri
secara kecil-kecilan. Mereka yang bergerak di bidang usaha sisa ini biasanya mereka memulai usaha dengan modal yang terbatas. Namun
mereka mempunyai pengalaman cukup tentang proses produksi karena mereka pernah
bekerja sebagai karyawan pembuat barang-barang, Sehingga hal itu dijadikan
modal besar yang berharga untuk mengembangkan usahanya.
Adapun yang tergolong usaha sisa ini
antara lain adalah usaha membuat dan menjual makanan atau minuman murah, usaha
transport jarak dekat non mesin, usaha pengumpulan barang bekas untuk di daur
ulang, usaha jual beli kebutuhan sehari-hari yang tidak tahan lama dan usaha
kerajinan. Usaha ini biasanya didasarkan pada azas kerukunan atau azas
kekeluargaan, karena jenis usaha ini bersifat padat karya.
Macam-macam sistem pondok yang
dipandang dari besarnya sumbangan tenaga kerja migran sirkuler (penghuni pondok
boro) dalam proses produksi dan penjualan hasil tergolong dalam 4 kelompok.
Pertama, sistem pondok dimana setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama.
Jumlah anggota antara 8-12 orang. Contohnya di Kotamadya Bogor, sistem ini
dilakukan oleh para migran sirkuler dari Demak dengan menjual keramik dari
Kecamatan Mayong (Kabupaten Kudus, Jateng). Sistem ini dilandasi azas
kekeluargaan atau azas kegotongroyongan yang cukup kuat karena didalamnya terdapat
hubungan yang erat antara anggota yang satu dengan yang lainnya, dengan hasil
keuntungan dibagi sama rata sehingga sistem ini disebut sistem pondok gotong
royong.
Kedua, sistem pondok dimana pemilik
pondok berkedudukan seperti kepala rumah tangga dan kedudukan para penghuni
pondok boro seperti anggota rumah tangga. Sistem ini terdiri dari jumlah
anggota yang sedikit, belum adanya pembagian tugas, dilandasi azas
kekeluargaan, dimana pemilik pondok menyediakan fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan oleh migran sirkuler. Sistem ini biasanya oleh pondok yang
menggunakan tenaga migran sirkuler dari desa yang jauh. Contoh dalam pondok
boro penjual bakso dari Malang dan pondok boro penjual sate ayam dari Madura.
Sistem ini biasanya dikenal dengan sistem pondok rumah tangga.
Ketiga, sistem pondok dimana
dikenalnya diferensiasi tenaga yang bertugas dalam proses produksi dengan
tenaga yang bertugas dalam pemasaran hasil produksi. Kedudukan pemilik pondok
seperti majikan. Tugas karyawan bekerja untuk proses produksi sedangkan majikan
memberikan upah, penginapan, jaminan hidup (pangan), dan sedikit bantuan bila
karyawan menderita sakit. Resiko kerugian dalam penjualan ditanggung oleh si
penjual tapi kadang-kadang ditanggung oleh majikan. Contoh pondok boro porduksi
tahu dari Sumedang dan Bumiayu. Sistem pondok ini mempunyai karyawan puluhan,
oleh karena itu sistem pondok ini lebih mirp perusahaan perseorangan.
Keempat, sistem pondok dimana
pemilik pondok tidak terlibat dalam kegiatan produksi maupun pemasaran barang
tetapi hanya menyewakan tempat penginapan, alat-alat dan mesin. Sehingga para
migran sirkuler berperan sebagai penyewa, produsen kecil, dan penjual hasil
produksinya. Disini terlihat sistem kekeluargaan kurang erat. Sistem ini
dilaksanakan pondok boro produksi tahu oleh migran sirkuler Ciamis dan
Cimanggu. Karena pemilik pondok dan migran sirkuler ditandai hubungan sewa
menyewa, maka disebut sistem pondok sewa. Disamping keempat sistem itu, sistem
pondok campuran dan sistem pondok tidak mempunyai karyawan. Jika dilihat dari
jenis kegiatan penghuninya, sistem boro dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu
pondok boro buruh, pondok boro penjual, dan pondok boro produksi.
0 komentar:
Posting Komentar