BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebakaran dalam hutan dapat terjadi
bila sedikitnya tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar, oksigen atau udara,
dan penyalaan api. Seluruh komponen tersebut sebagi bahan bakar, baik sendiri
maupun secara komulaif, ditentukan oleh jumlah, kondisi terutama kadar airnya
dan penyebaran dalam hutan. Kebakaran terjadi apabila ada setidaknya tiga
faktor penentu, yaitu bahan yang dapat terbakar (materials), sumber api
(ignition), dan zat asam (oksigen) yang bertemu atau berinteraksi dalam proses
pembakaran. Bagaimanapun keringnya kayu dan bahan organis lainnya bila tidak
ada sumber api, tentunya kebakaran hutan masih dapat dihindari (Ahmad 2008).
Bahan Bakar (Pohon, rumput, dan semak)
dapat terbakar bila tersedia udara dan panas yang cukup. Tiga unsur tersebut
biasa disebut “segitiga api”. Bila tiga unsur segi tiga api tersebut tidak
tersedia secara lengkap, api tidak dapat membakar. Harus ada panas yang cukup
untuk menyulut bahan bakar misalnya: panas dari korek api, batubara, api bekas
memasak, dari kendaraan,dari chainsaw, dari puntung rokok dan lain-lain. Dan
harus ada udara (oksigen) untuk dapat terbakar, tanpa ada udara sedikitpun api
tidak akan hidup (Young and Giese 1991).
Pohan (1984) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa semakin curam lereng tidaklah menunjukkan semakin cepat api
menjalar, akan tetapi pada kondisi kemiringan yang sedang (25%) api menjalar
paling cepat. Untuk kemiringan 0% dan 15 % masih terlalu sedikit angin yang
mempengaruhi kebakaran atau hanya bagian bawah angin saja yang berpengaruh permukaan
kebakaran dan untuk kemiringan yang terlalu curam (45%) permukaan lereng dapat
menghambat angin. Oleh karena itu, pada kemiringa 25% merupakan kondisi yang
baik bagi angin untuk memindahkan panas dan mensuplai oksigen.
Faktor – faktor topografi yang penting
meliputi: aspek, elevasi, daerah curam, tebing dan jeram. Kelerengan
mempengaruhi penjalaran api, sifat – sifat dari nyala api dan perilaku api
lainnya. Dalam hal ini kelerengan berpengaruh terhadap sudut nyala api (Weise
and Biging 1996). Hasil penelitian Weise and Biging (1996) menunjukkan rata –
rata sudut nyala api berkisar antara -39,5° untuk kelerengan 30% kearah bawah hingga 13,5° untuk kelerengan
30% kearah bawah tanpa adanya pengaruh
angin.
1.2
Tujuan
Untuk
mengetahui pengaruh berbagai kemiringan lereng pada laju penjalaran api
kebakaran.
BAB II
BAHAN DAN METODE
2.1
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
·
Lidi
·
Penggaris
·
Korek api
·
Alat pengukur waktu
·
Penyangga berupa kincir
2.2 Cara Kerja
Cara kerja pada praktikum kali ini yaitu :
·
Menyiapkan alat-alat yang akan
digunakan.
·
Mengukur panjang lidi awal.
·
Mengatur posisi bahan bakar ( lidi
) di penyangga pada berbagai kemiringan. Posisi kemiringannya yaitu pada 0º,
45º, 90º, 135º, dan 180º.
·
Menyulut lidi dengan korek apai dan
mencatat waktu penjalaran api hingga apinya padam.
·
Mengukur kembali panjang lidi
setelah proses pembakaran atau penjalaran api.
·
Mengulangi langkah yang sama pada
setiap posisi kemiringan hingga tiga kali pengulangan.
·
Mencatat hasil praktikum pada tabel
yang telah ada.
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Tabel
1 Hasil Pengamatan Laju Penjalaran Api Pada Posisi Lidi yang Berbeda
Posis
Lidi
(
0 )
|
Lama Api Padam
(Detik)
|
Panjang Lidi
Terbakar (cm)
|
Laju
penjalaran (cm/detik)
|
||||||
1
|
2
|
3
|
Rata-rata
|
1
|
2
|
3
|
Rata-rata
|
||
0
|
30,51
|
20,64
|
24,99
|
25,38
|
0,6
|
0,6
|
0,5
|
0,56
|
0,022
|
45
|
28,32
|
44,61
|
34,81
|
35,91
|
0,3
|
0,7
|
0,3
|
0,43
|
0,012
|
90
|
28,90
|
44,11
|
37,80
|
36,93
|
0,6
|
0,7
|
1
|
0,76
|
0,020
|
135
|
22,68
|
31,52
|
24,15
|
26,11
|
0,2
|
1,5
|
1,1
|
0,93
|
0,035
|
180
|
42,14
|
117,60
|
57,04
|
72,26
|
11,4
|
11,2
|
11,1
|
11,23
|
0,155
|
Grafik 1 Laju penjalaran api terhadap posisi batang lidi |
3.2 Pembahasan
Praktikum ini dilakukan pengujian tentang pengaruh
topografi pada kecepatan penjalaran api kebakaran. Prinsipnya yaitu untuk
mengetahui pengaruh berbagai kemiringan lereng pada laju penjalaran api
kebakaran. Bahan yang digunakan adalah batang lidi yang ditopang oleh besi
penyangga yang dapat membentuk sudut lingkaran 3600. Sudut yang
digunakan adalah sudut 00, 450, 900, 1350,
dan 1800. Masing-masing sudut diberi perlakuan tiga kali percobaan
dan diambil nilai rata-ratanya untuk keakuratan data. Aspek yang diukur dalam
percobaan ini adalah lamanya api padam(detik) dan panjang lidi terbakar (cm)
dengan hasil akhir adalah laju penjalaran api (cm/detik).
Percobaan-percobaan yang dilakukan
tersebut menghasilkan laju penjalaran api yang diberi perlakuan topografi 1800
lebih laju penjalaran apinya dari pada perlakuan topografi yang lainnya. Laju
penjalaran api pada sudut 1800 dengan tiga kali percobaan yaitu
0,155 cm/detik, disusul oleh sudut 1350 dengan laju penjalaran
apinya yaitu 0,035 cm/detik, selanjutnya disusul oleh sudut 00
dengan laju penjalaran 0,022 cm/detik dan sudut 900 dengan laju
penjalaran 0,020 cm/detik, dan yang terakhir adalah sudut topografi 450 dengan
laju penjalaran 0,012 cm/detik. Hasil ini menunjukkan bahwa pada sudut 1800
laju penjalaran api sangat cepat karena faktor angin. Pada kondisi ini angin
sangat leluasa mempengaruhi api, suplai oksigen sangat mendukung terjadinya
proses pembakaran yang sempurna. Kondisi ini memudahkan api menghantarkan panas
kebahan bakar, terlebih lagi arah peregerakan api yang di pengaruhi oleh angin mengarah
keatas atau melawan arah gravitasi bumi, sehingga bahan bakarnya mudah terbakar
dengan cepat. Begitu juga dengan kondisi sudut topografi 1350 faktor
angin juga sangat berpengaruh pada kondisi ini dengan kepala api mengarah
keatas, sehingga mempercepat laju pembakaran. Laju penjalaran terendah berada
pada posisi 450. Hal ini
disebabkan karena faktor angin kurang mendukung. Penjalaran api lebih dominan
kearah atas, sehingga memperlambat penghantaran panas ke bahan bakarnya dan
penghambat laju penjalaran apinya. Faktor lain yang mempengaruhinya yaitu waktu
penyuluran api, api belum menyala secara normal sehingga api mudah padam.
Pohan (1984) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa semakin curam lereng tidaklah menunjukkan semakin cepat api
menjalar, akan tetapi pada kondisi kemiringan yang sedang (25%) api menjalar
paling cepat. Untuk kemiringan 0% dan 15 % masih terlalu sedikit angin yang
mempengaruhi kebakaran atau hanya bagian bawah angin saja yang berpengaruh
permukaan kebakaran dan untuk kemiringan yang terlalu curam (45%) permukaan
lereng dapat menghambat angin. Oleh karena itu, pada kemiringa 25% merupakan
kondisi yang baik bagi angin untuk memindahkan panas dan mensuplai oksigen.
Hasil penelitian Pohan tersebut tidak sesuai dengan hasil praktikum yang dilakukan,
pada hasil praktikum yang dilakukan laju penjalaran api yang paling cepat
adalah pada sudut topografi 1800. Hal ini diduga karena metode yang
dilakukan berbeda.
BAB
IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Laju
penjalaran api sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, salah satunya adalah
faktor topografi. Dalam prakteknya laju penjalaran api pada sudut 1800
sangat cepat dibandingkan dengan sudut yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh angin terhadap penjalaran api dan kepala api menjalar ke atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
ST.2008. Pengaruh Data Hotspot untuk
Minotoring Kebakaran Hutan. Medan (ID) : USU Repasitory.
Pohan
ZR. 1984. Pengaruh Berbagai Kecepatan Angin dan Kemiringan Lereng Terhadap
Kecepatan Menjalarnya Api [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Young RA, Giese RL. 1991. Introduction
to Forest Fire. Toronto Canada (CA) : John Wiley and Sons Inc.
0 komentar:
Posting Komentar