Potensi Artikel Hasil Hutan Bukan
Kayu Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hutan
terluas di dunia. Data statistik tahun 1993 mencatat luas hutan Indonesia
sekitar 141,8 juta hektar. Data lainnya menyebutkan luas hutan Indonesia
menempati urutan ke – 9 terluas di dunia setelah Australia dan Argentina dengan
luasan 884.950 Km2. Keanekaragaman hayati yang di kandung oleh hutan Indonesia
sangatlah melimpah. Dari hasil survei IBSAP ( Indonesian Biodiversity Strategy
and Action Plan) pada tahun 2003 diketahui bahwa di Indonesia terdapat 515
jenis mamalia (36% endemik, peringkat pertama dunia), 35 jenis primate (25%
endemik), 511 jenis reptil, 1.531 jenis burung (sebagian jenis endemik), 270
jenis amfibi, dan 212 jenis kupu-kupu (44% endemik). Jenis tumbuh-tumbuhan di
Indonesia diperkirakan berjumlah 25.000 jenis atau lebih dari 10% dari flora
dunia. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, hutan Indonesia juga
memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, mulai dari potensi hutan yang
bersifat kayu, maupun potensi hutan bukan kayu. Pada tahun 1997, sektor
kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9 persen dari Produk Domestik Bruto
(PDB), dan ekspor kayu lapis, pulp dan kertas nilainya mencapai 5,5 miliar
dolar untuk devisa negara. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari nilai ekspor
minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor total.
Melihat potensi hasil hutan bukan kayu, potensi ini sangat menjanjikan untuk
dikembangkan mengingat keanekaragaman jenis tanaman hutan Indonesia yang sangat
banyak manfaatnya, baik manfaat langsung (tangible) maupun manfaat tidak
langsung (intangible).
Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), hasil hutan bukan
kayu adalah hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh dari hutan. Defenisi
lainnya menyebutkan segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang
diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan hasil
sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah atau berupa
tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain. Di Indonesia sampai saat ini budidaya tanaman
HHBK belum banyak dilaksanakan, sebagian besar produk HHBK masih diambil dari
dalam hutan sehingga produksi HHBK yang berkesinambungan tidak lagi terjamin.
Akibatnya sumberdaya HHBK menjadi hancur bahkan beberapa jenis masuk kategori
langka, seperti gaharu, damar rasak, jelutung, kapur barus, jermang, ketiau,
balau dan lain-lain sudah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES (Sumadiwangsa
dan Mas’ud, 1999).
Sesuai dengan dengan Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.21/Menhut-II, 2009. jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam 2 (dua)
kelompok besar yaitu HHBK Nabati dan HHBK Hewani. HHBK Nabati meliputi kelompok
resin (damar, gaharu, kemenyan, getah tusam), kelompok minyak atsiri (cendana,
kulit manis, kayu putih, kenanga), kelompok minyak lemak, pati, dan buah –
buahan (buah merah, rebung bambu, durian, kemiri, pala, vanili), kelompok
tannin, bahan pewarna, dan getah (kayu kuning, jelutung, perca, pinang,
gambir), kelompok tumbuhan obat – obatan dan tanaman hias (akar wangi,
brotowali, anggrek hutan), kelompok palma dan bambu (rotan manau, rotan
tahiti), kelompok alkaloid (kina), dan kelompok (nipah, pandan, purun). HHBK
Hewani meliputi kelompok kelas hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa,
buaya), kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu – kupu, rusa, buaya),
kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat
sutera, lebah madu).
Hasil hutan bukan kayu sangat berpotensi sebagai
komoditas kehutanan. Hasil hutan bukan kayu dapat menyelamatkan eksploitasi
terhadap sektor kehutanan ketika potensi hasil hutan bukan kayu dapat
dimanfaatkan dengan baik. Hasil hutan non kayu ini bisa dibilang sangat
menguntungkan, karena dari satu jenis saja kita bisa memanfaatkan bagian bagian
dari suatu jenis tumbuhan tersebut. Apakah daunya, akarnya, maupun buahnya.
Penggunaannya juga bermacam-macam, mulai dari pemenuhan kebutuhan, sebagai
barang-barang penghias bahkan sebagai obat-obatan. Berikut adalah beberapa
contoh hasil hutan non kayu beserta potensi yang dimilikinya.
1. Potensi
rotan
Luas kawasan hutan yang merupakan habitat alam rotan
seluas 2.215.625 ha. Di Indonesia
terdapat kurang lebih 306 spesies rotan telah teridentifikasi dan menyebar di
semua pulau di Indonesia. Dari keseluruhan yang teridentifikasi, rotan yang
sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang lebih 128
jenis. Sementara itu rotan yang sudah umum diusahakan/ diperdagangkan dengan
harga tinggi untuk berbagai keperluan baru mencapai 28 jenis saja (Baharuddin
dan Taskirawati, 2009). Rotan dapat digunakan untuk membuat keranjang, tikar,
mebel, tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, penangkap ikan, perangkap
binatang, tirai, kurungan burung, ikatan pada rumah, pagar, jembatan, perahu
dan untuk hampir semua tujuan lain apapun yang menuntut kekuatan dan kelenturan
yang digabungkan dengan keringanan.
2. Sagu
Hutan sagu di Provinsi Papua luas sekitar 4.769.548 ha
(diperkirakan telah dimanfaatan hutan sagu secara tradisional 14.000 ha). Menurut
Prof. Bintoro, untuk menghasilkan 30 juta ton beras per tahun diperlukan lahan
seluas 12 juta hektare, sedangkan untuk menghasilkan 30 juta ton sagu hanya
diperlukan lahan seluas satu juta hektar. Sebagaimana kita ketahui bahwa sagu
dapat menggantikan peran beras untuk kebutuhan pokok manusia.
3. Nipah
Indonesai memiliki daerah tanaman nipah seluas 10%
atau 700.000 ha dari luas daerah pasang surut sebesar 7 juta ha. Penyebarannya
meliputi wilayah kepulauan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan
Papua. Populasi tanaman nipah diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha, sehingga
dari luas areal tanam yang ada sekarang terdapat 5,6 miliar pohon. Dari jumlah
tanaman yang ada per hektar, jumlah malai (tangai bunga) yang dapat dihasilkan
sekitar 10% atau sekitar 800 tangkai bunga. Jika pemeliharaan dan perawatannya
intensif, persentase jumlah malai meningkat sekitar 40% atau sebanyak 3.200
tangkai bunga. Tanaman nipah menghasilkan nira yang diperoleh dari hasil
sadapan tangkai bunga (malai). Komposisi nira nipah menagndung kadar gula
(Brix) 15-17%, sukrosa 13-15%, gule pereduksi 0,2-0,5%, dan abu 0,3-0,7%. Nira tersebut dapat diolah emnajdi gula,
baik dinuat sebagai gual merah, gual
semut, gula pasir, maupun sirup. Di Malaysia dan Filipina nira nipah selain
diolah menjadi gula juga diolah menjadi
vinegar, cuka dan alkohol.
4. Biji Kepuh
(Sterculia foetida)
Tumbuhan Kepuh (Sterculia foetida) memiliki potensi
yang sangat besar untuk dijadikan biodiesel karena inti bijinya memiliki
kandungan minyak yang cukup tinggi, yaitu sebesar 40% (Heyne, 1987). Selain
kandungan minyaknya yang cukup tinggi, minyak biji Kepuh juga tidak digunakan
sebagai bahan konsumsi seperti halnya
minyak kedelai, minyak sawit dan minyak bunga matahari. Tanaman Kepuh juga
mampu tumbuh dengan mudah di lahan
kritis dan termasuk tumbuhan yang dapat tumbuh dengan cepat serta tersebar di
seluruh Nusantara (Heyne, 1987).
5. Biji
Kesambi (Schleichera oleosa Lour)
Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan
sebagai biodiesel adalah dari biji kesambi (Schleichera oleosa Lour). Minyak
biji kesambi mengandung beberapa jenis asam lemak dengan komposisi tertentu
yang mirip dengan tanaman penghasil biodiesel lainnya. Asam lemak yang terdapat
pada minyak kesambi yaitu asam miristat, asam palmitat, asam stearat, asam
arakidat, asam oleat, dan asam linoleat.
0 komentar:
Posting Komentar