Tim Peneliti EHHBK FMSC 2017
Eksplorasi Hasil Hutan Bukan Kayu adalah kegiatan yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen Hutan Forest Management Student's Club (FMSC), pada tahun 2016 dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi untuk menelaah potensi Cabe Jawa
Inventarisasi Hutan Mangrove Pangandaran
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan Praktik Umum Kehutanan (PUK) Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB angkatan 51 tahun 2016
Para Praktikan Praktik Umum Kehutanan 2016
Mencoba sesuatu yang berbeda, walaupun dikenal dengan Mahasiswa Kehutanan, tapi coba main ke laut, ASIK juga hehe. Dalam Rangka menjalankan Praktik Umum Kehutanan 2016
Minggu, 27 Maret 2016
Dampak Alih Fungsi Lahan
Maret 27, 2016
No comments
Dampak Alih Fungsi Lahan Hutan
Fakta diatas menunjukkan betapa kayanya Indonesia.
Kalau melihat lebih dekat lagi dari mana kebutuhan lahan yang dapat menampung
itu semua? Dengan desakan kepadatan penduduk yang kian tahun kian meningkat
untuk areal pemukiman, dengan kebutuhan perekonomian yang menghidupi ratusan
juta rakyat Indonesia, dengan tuntutan pembangunan infrastruktur yang menjadi
ikon kemajuan suatu daerah, dengan berbagai alasan mengundang investor untuk
berinvestasi demi kemajuan daerah. Sementara kita ketahui bahwa seiring
meningkatnya kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak diiringi dengan pertambahan
lahan untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Lantas bagaimana cara pemenuhan
kebutuhan tersebut? Ya, cara yang paling ampuh adalah cara mengalihfungsikan
lahan. Baik mengalihkanfungsikan lahan hutan menjadi areal pertanian, mengalihfungsikan
lahan hutan menjadi areal pertambangan, mengalihfungsikan lahan hutan menjadi
areal perkebunan, dan mengalihfungsikan lahan hutan atau lahan pertanian
menjadi areal pemukiman. Dari kasus ini yang paling banyak dialihfungsikan
adalah areal hutan.
Kawasan hutan Indonesia mencapai 162 juta hektar.
Lahan hutan terluas itu ada di Papua (32,36 juta hektar luasnya). Kemudian
hutan Kalimantan (28,23 juta hektar), Sumatera (14,65 juta hektar), Sulawesi
(8,87 juta hektar), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta hektar), Jawa (3,09 juta
hektar), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta hektar). Indonesia adalah
pemilik hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo.
Sayangnya, menurut buku Rekor Dunia Guinness, Indonesia adalah negara yang memiliki
tingkat kehancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90
persen dari sisa hutan di dunia. Menurut buku tersebut, Indonesia menghancurkan
luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola setiap jamnya. Forest
Watch Indonesia pun mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun ke tahun
terus meningkat, sampai saat ini saja sudah mencapai 2 juta hektar per tahun.
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah. Akibatnya, luas
hutan Indonesia selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta hektar
menjadi 98 juta hektar (Sumber : Kompas.com).
Deforestasi
(penebangan hutan) menyebabkan hilangnya ekosistem di dalamnya, termasuk
spesies tumbuhan dan hewan langka. Padahal, 80 persen keanekaragaman hayati
terdapat di dalam hutan. Deforestasi juga menyebabkan berkurangnya kemampuan
menyerap emisi karbon dunia yang tentunya berimbas pada meningkatnya ancaman
pemanasan global. Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia menyangkut
berbagai permasalahan yang saling terkait, termasuk perampasan dan penguasaan
hutan, kebakaran hutan, peladangan berpindah, pembalakan liar, perdagangan
hasil hutan ilegal, dan kemiskinan. Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia
berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen secara mandiri
dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020. Pemerintah
Indonesia menegaskan kembali janji tersebut minggu ini dalam sebuah pertemuan
antara pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta perwakilan dari
lembaga internasional.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi sebagai
penyeimbang fungsi ekosistem. Peranan hutan sangat penting dalam sistem
penyangga kehidupan. Hutan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang
baik, sebagai habitat bagi flora dan fauna, mengurangi polusi pencemaran udara,
sebagai penyubur tanah, sebagai paru-paru dunia dengan menyuplai oksigen untuk
kehidupan, sebagai penahan erosi dan lain sebagainya. Ada anekdot mengatakan
bahwa forest is the mother of agriculture, artinya hutan sebagai penyeimbang
fungsi pertanian dengan menyuplai air untuk pertanian tersebut. Namun bisa
dibayangkan dengan kondisi hutan kita sekarang yang maraknya dialihfungsikan ke
bentuk lain akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Boleh kita lihat bencana
alam dimana-mana, seperti banjir, erosi, tanah longsor, pemanasan global yang
banyak diisukan oleh dunia internasional. Berapa banyak kerugian negara akan
kasus ini?. Itu baru kasus yang berkaitan dengan alam, belum lagi akhir-akhir
ini banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan
terkait alih fungsi lahan hutan ini. Konflik yang terjadi kebanyakan
mengorbankan masyarakat kecil, bukan hanya harta bahkan nyawa pun terkorbankan.
Alih fungsi kawasan hutan memang diperbolehkan
Undang-Undang. Hanya ada aturannya. Pasal 19 ayat (1), UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, menyatakan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Namun, alih fungsi hutan tentu tidak boleh dilakukan secara sembarang. Jika
alih fungsi hutan ini berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis, maka harus ditetapkan oleh pemerintah dan dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis ini adalah adanya perubahan yang sangat
berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan
gangguan tata air serta adanya dampak sosial masyarakat bagi kehidupan generasi
sekarang dan yang akan datang.
Hingga saat ini pemerintah telah memberikan solusi
akan masalah alih fungsi lahan ini, seperti menerapkan denda untuk penebangan
hutan dan hukum pidana. Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi
pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya
perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.
Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang
yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek
jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke 18
UU No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah
melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai
kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi
berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi
pidananya berat. (Fathur Rahman).